Oleh Edna Ho, Malaysia
Dalam sebuah aula, ratusan orang dari berbagai daerah di Malaysia telah berkumpul untuk sebuah acara konvensi tahunan yang diselenggarakan oleh gerejaku. Aku begitu bersemangat untuk mengikuti acara ini. Dalam hati aku berkata, “Inilah waktunya. Ada begitu banyak orang yang haus dan lapar akan firman Tuhan di sini. Hadirat Tuhan pasti ada di tempat ini dan aku yakin bahwa ketika Tuhan berbicara kepada jemaat-Nya, maka Dia juga akan berbicara kepadaku.”
Dalam acara konvensi selama tiga hari itu, aku sangat berharap aku bisa sungguh-sungguh merasakan hadirat Tuhan, menangis penuh sukacita dan tenggelam dalam hadirat-Nya. Para pendeta dan penatua di gerejaku telah berulang kali mendorong jematnya agar bersungguh-sungguh menyiapkan hati supaya kuasa Tuhan tercurah dalam acara itu. Mereka mengatakan bahwa mukjizat-mukjizat pasti terjadi ketika jemaat percaya dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan.
Setelah sesi di malam pertama selesai, ada sebuah sesi khusus di mana orang-orang yang merasa diri mereka jauh dari Tuhan ataupun hidupnya seolah terasa datar diundang untuk mengangkat tangan dan bangkit berdiri dari kursi masing-masing. Banyak tangan-tangan yang terangkat, termasuk aku juga ikut mengangkat tangan. Kemudian, pendeta itu mulai berkata-kata sambil musik mengalun dengan lembut. Sesi tersebut terkesan begitu luar biasa dan sang pendeta mengatakan bahwa dia sungguh merasakan betapa kuatnya hadirat Tuhan saat itu.
Aku malu untuk mengakuinya, tapi sejujurnya aku tidak begitu “merasakan” kehadiran Tuhan saat itu. Aku memang menangis dan meresapi setiap lirik pujian yang kunyanyikan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Orang-orang di sekelilingku menangis, berlutut di lantai, dan mengangkat tangan tinggi-tinggi kepada Tuhan. Apakah ada yang salah dengan diriku? Mengapa aku tidak bisa merasakan jamahan Tuhan seperti yang mereka rasakan? Aku mencoba untuk lebih bersungguh-sungguh lagi supaya aku bisa merasakan hadirat Tuhan, tapi aku tetap merasa sama saja. Aku masih belum bisa merasakan hadirat Tuhan seperti yang dirasakan oleh orang-orang di sekelilingku saat itu.
Aku tidak ingin menyerah. Aku berkata pada diriku bahwa itu baru malam pertama saja.Sesi-sesi tentang kesembuhan dan nubuat yang merupakan puncak acara konvensi itu baru akan dimulai di malam selanjutnya. Di malam kedua, pembicara tamu mulai berbicara tentang nubuat-nubuat. Dia memanggil beberapa nama peserta dan menyebut secara rinci tentang kondisi yang tengah mereka hadapi. Kemudian dia juga memanggil peserta yang menderita berbagai penyakit, dan meminta panitia konvensi untuk mendoakan mereka. Dari orang-orang yang didoakan itu, ada beberapa yang langsung sembuh seketika, sementara itu yang lainnya mengatakan kalau mereka merasa lebih baik. Lalu, pembicara tamu itu meminta para panitia konvensi untuk berbaris di belakang orang-orang yang akan didoakan. Aku adalah salah satu dari orang-orang yang berdiri untuk didoakan itu, dan seorang panitia yang belum pernah kutemui sebelumnya mulai mendoakanku. Aku pikir dia akan berdoa dan memberiku nubuatan-nubuatan yang luar biasa, tapi kenyataannya dia hanya mengucapkan doa-doa yang umum kepadaku.
Sejujurnya saat itu aku merasa kecewa. Aku bukan kecewa kepada wanita yang mendoakanku malam itu, tapi aku kecewa kepada Tuhan. Aku bertanya dalam hati kepada Tuhan, “Oh Tuhan, aku datang dengan harapan yang begitu besar. Bahkan sebelum datang ke tempat ini aku telah berpuasa dan berdoa. Apa yang salah? Mengapa Engkau tidak juga berbicara kepadaku? Apakah aku kurang sungguh-sungguh dibanding orang-orang lain itu? Atau, apakah ada dosa yang menghalangiku?”
Tuhan tidak menjawabku malam itu. Namun, beberapa hari setelahnya ketika aku sedang membaca sebuah blog Kristen, Tuhan menjawabku lewat sebuah tulisan yang di dalamnya teradapat kutipan dari kitab 1 Raja-raja 19:11-12.
“Lalu firman-Nya: ‘Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!’ Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.”
Apa yang baru saja kubaca itu membuatku tersentak.
Elia belajar bahwa terkadang Tuhan memilih untuk bekerja melalui cara-cara yang lebih tenang. Tuhan mengajarkanku bahwa Dia tidak selalu membutuhkan sesuatu yang spektakuler untuk bekerja dan berbicara kepada kita. Dia sudah berbicara, sedang berbicara, dan akan terus berbicara bahkan di dalam rutinitas kita sehari-hari, bagaikan sebuah suara kecil di dalam hati kita.
Ketika kita menyembah Tuhan, kita tidak harus mengejar suatu pengalaman atau perasaan tertentu yang membuat kita seolah merasakan kehadiran-Nya. Akan tetapi, fokus utama kita ketika menyembah adalah kepada Tuhan itu sendiri, dan juga kepada kasih setia-Nya. Dengan begitu, cepat ataupun lambat, kebaikan-Nya yang melimpah akan melingkupi kita. Lebih seringlah bercerita tentang kebaikan Tuhan dalam hidup kita kepada kerabat terdekat, teman ataupun komunitas. Bersaksi, selain memberkati orang di sekeliling kita, juga mengingatkan dan meneguhkan hati kita sendiri atas kebaikan Tuhan dalam hidup kita.
Selama konvensi itu berlangsung aku telah salah mengartikan kehadiran Tuhan. Tapi, tidak merasakan kehadiran Tuhan bukan berarti bahwa Tuhan tidak berada di sana. Tuhan tetap ada di sana, dan kebenaran-Nya yang mengubahkan hidup kita tetaplah sama. untuk anda yang rindu beribadah dan mencari Gereja di PIK , kami mengundang saudara untuk hadir bersama di ibadah Raya GBI River of Life setiap MInggu pukul 10.30 WIB di Gedung Goldcoast lantai 7. atau dapat menghubungi kami lewat whats app yang tersedia . Tuhan Yesus Memberkati